Sabtu, 05 November 2016

Filled Under:

Al-Qardh: Pembebasan Pendidikan dalam Gurita Kapitalis Global

08.52.00

By: Nur Fitroh Febrianto

Education as an act of love, as a critical dialogical process, ultimately foster conscientizacao and is born in culture circle (Paulo Freire, 1999)

Dekonstruksi moral yang menjangkit para pelaku pendidikan adalah salah satu amsal yang menyebabkan kacaunya sistem pendidikan di Indonesia. Padahal, sepanjang sejarah dunia tidak pernah ada satu bangsa yang berhasil meraih kejayaan tanpa berinvestasi pada sektor pendidikan. Dalam Indeks Pembangungan Pendidikan untuk Semua atau Education for All (EFA), tercatat bahwa Indonesia selalu mengalami penurunan tiap tahunnya. Pada tahun 2011 Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dan merosot 4 posisi bila dibandingkan dengan tahun 2010 yang berada pada posisi 65. Indeks yang dikeluarkan pada tahun 2011 oleh UNESCO ini lebih rendah bila dibandingkan dengan Brunei Darussalam (34), serta terpaut empat peringkat dari Malaysia (65).

Berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Mulai dari masalah kualitas guru yang masih rendah, kualitas kurikulum yang belum standar, kualitas infrastruktur yang belum memadai hingga biaya pendidikan yang mahal. Kemunculan hasil observasi tersebut sejak lama memang telah menjadi perbincangan publik. Namun tidak juga menemukan solusi yang tepat. Kualitas fasilitas belajar pun masih rendah. Kondisi pendidikan di tanah air yang masih terpuruk, membuat kita bertanya, apakah kita ingin menjadi bangsa besar?

Pendidikan yang Membebaskan

Paulo Freire adalah tokoh pendidikan kritis asal Brazil yang membuat sebuah karya monumental bagi dunia pendidikan. Bukunya Education as the Practice of Freedom, menjadi bahan rujukan di banyak negara dunia. Pembebasan bagi Freire, bermakna ketika manusia benar-benar sadar (conscientizacao) akan kondisi ketertindasan yang mereka alami (Freire, 1999). Menurut Freire, selama ini kaum tertindas tidak pernah menyadari dirinya ditindas secara struktur dan sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Bagi Freire cara satu-satunya untuk lepas dari belenggu ketertindasan ini adalah lewat pendidikan.

Ki Hajar Dewantara memiliki pandangan yang hampir sama dengan Freire, ketika Dewantara mendirikan Taman Siswa, tujuan awalnya adalah untuk menampung para bumiputera yang tidak diterima di sekolah-sekolah Belanda. Lewat sekolah ini muncul Pemikiran-pemikiran pembebasan yang sadar akan kondisi bangsa yang diperdaya oleh bangsa lain. Pertanyaan besar yang muncul sekarang adalah, apakah pemerintah sekarang bisa memunculkan kembali pemikiran pembebasan itu? Sehingga pendidikan di Indonesia dapat mandiri dalam hal pembiayaan dan tidak tergantung oleh bangsa lain.

Fakta, Pendidikan dan Kapitalis Global

Sejak tahun 2005 lalu, isu pemberlakuan sistem privatisasi pendidikan sudah sontar. Hal ini dikarenakan tekanan hutang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran hutang Indonesia kepada luar negeri sebesar 35-40 persen mesti dipotong dari APBN setiap tahunnya. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen.

Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.

Pengamat ekonomi Revrisond Bawsir menuturkan bahwa privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Privatisasi pendidikan sama halnya dengan menyerahkan pendidikan ke pasar. Tentu saja akan memancing peningkatan biaya sesuai kehendak pemilik modal. Selain itu, pendikotomian kelas sosial masyarakat akan kembali terulang. Dalam keadaan ini, pemerintah yang berkewajiban menjamin hak pendidikan setiap warganya, terkesan “cuci tangan”.

Revitalisasi Al-Qardh untuk Pendidikan

Neoliberalisme yang mendatangkan kapitalis pasar, birokrasi dan pendi-
dikan di negeri ini adalah kenyataan yang mesti dilawan. Pergerakannya telah sampai pada imperealisme akut yang secara tidak langsung menjajah kembali bumi Indonesia. Selain melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, pengadaan kebijakan baru menyoal pelaksanaan pendidikan juga patut dicurigai sebagai bagian dari upaya perealisasian misi mereka.

Indonesia sebagai bangsa yang lahir dengan latar belakang kebersamaan dan gotong royong sebenarnya telah memiliki dasar berpijak dan bergerak. Hanya saja, kesadaran dan keyakinan untuk bangkit sebagai negara yang berdaulat masih sangat minim. Negeri ini membutuhkan perjuangan dan pengorbanan segenap rakyat. Revitalisasi Al-Qardh adalah salah satu langkah komperehensif yang dapat diterapkan. Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (2001), Al-Qardh adalah pinjaman (penyaluran dana) kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pada waktu yang telah disepakati antara nasabah dan LKS.

Praktik Al-Qardh yang diaplikasikan pada perbankan syariah di Indonesia, yang secara khusus dikenal dengan qardhul hasan, bukan transaksi komersial, tetapi nasabah yang meminjam ke bank syariah akan membayar sama dengan hutangnya dan memberikan bonus kepada bank yang tidak diperjanjikan ketika akad. Dengan demikian, Al-Qardh dapat membantu pelajar, khususnya mahasiswa yang kekurangan biaya dalam hal pendidikan. Pembayaran pengembalian dapat dilaksanakan 6 (enam) bulan setelah kelulusan atau wisuda, sehingga mahasiswa telah bekerja dan mempunyai penghasilan. Selain itu, bonus bonus yang diberikan kepada bank dapat digunakan sebagai penyokong bahkan menyelenggarakan pendidikan rakyat yang murah dan dapat dijangkau semua kalangan khususnya menengah ke bawah.

Bagaimana pun masalah yang dialami dalam bidang pendidikan kita, pasti ada solusi untuk menyelesaikannya. Namun pelaksanaan solusi tersebut harus selalu didasari pada hati nurani dan rasa pengabdian yang seutuhnya sehingga hasil yang didapatkan memanglah hasil yang optimal.

0 komentar:

Posting Komentar