By: Nur Fitroh Febrianto
Education as an act of love, as a
critical dialogical process, ultimately foster conscientizacao and is born in
culture circle (Paulo Freire,
1999)
Dekonstruksi moral yang menjangkit para
pelaku pendidikan adalah salah satu amsal yang menyebabkan kacaunya sistem
pendidikan di Indonesia. Padahal, sepanjang sejarah dunia tidak pernah ada satu
bangsa yang berhasil meraih kejayaan tanpa berinvestasi pada sektor pendidikan.
Dalam Indeks Pembangungan Pendidikan untuk Semua atau Education for All (EFA),
tercatat bahwa Indonesia selalu mengalami penurunan tiap tahunnya. Pada tahun
2011 Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dan merosot 4 posisi bila
dibandingkan dengan tahun 2010 yang berada pada posisi 65. Indeks yang
dikeluarkan pada tahun 2011 oleh UNESCO ini lebih rendah bila dibandingkan
dengan Brunei Darussalam (34), serta terpaut empat peringkat dari Malaysia (65).
Berbagai faktor yang
melatarbelakanginya. Mulai dari masalah kualitas guru yang masih rendah,
kualitas kurikulum yang belum standar, kualitas infrastruktur yang belum
memadai hingga biaya pendidikan yang mahal. Kemunculan hasil observasi tersebut
sejak lama memang telah menjadi perbincangan publik. Namun tidak juga menemukan
solusi yang tepat. Kualitas fasilitas belajar pun masih rendah. Kondisi
pendidikan di tanah air yang masih terpuruk, membuat kita bertanya, apakah kita
ingin menjadi bangsa besar?
Pendidikan yang Membebaskan
Paulo Freire adalah tokoh pendidikan
kritis asal Brazil yang membuat sebuah karya monumental bagi dunia pendidikan.
Bukunya Education as the Practice of Freedom, menjadi bahan rujukan di
banyak negara dunia. Pembebasan bagi Freire, bermakna ketika manusia
benar-benar sadar (conscientizacao) akan kondisi ketertindasan yang
mereka alami (Freire, 1999). Menurut Freire, selama ini kaum tertindas tidak pernah
menyadari dirinya ditindas secara struktur dan sistem politik, sosial, ekonomi,
dan budaya. Bagi Freire cara satu-satunya untuk lepas dari belenggu
ketertindasan ini adalah lewat pendidikan.
Ki Hajar Dewantara memiliki pandangan yang hampir sama dengan Freire,
ketika Dewantara mendirikan Taman Siswa, tujuan awalnya adalah untuk menampung
para bumiputera yang tidak diterima di sekolah-sekolah Belanda. Lewat sekolah
ini muncul Pemikiran-pemikiran pembebasan yang sadar akan kondisi bangsa yang
diperdaya oleh bangsa lain. Pertanyaan besar yang muncul sekarang adalah,
apakah pemerintah sekarang bisa memunculkan kembali pemikiran pembebasan itu? Sehingga
pendidikan di Indonesia dapat mandiri dalam hal pembiayaan dan tidak tergantung
oleh bangsa lain.
Fakta, Pendidikan dan Kapitalis Global
Sejak tahun 2005 lalu, isu
pemberlakuan sistem privatisasi pendidikan sudah sontar. Hal ini dikarenakan
tekanan hutang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran hutang Indonesia
kepada luar negeri sebesar 35-40 persen mesti dipotong dari APBN setiap
tahunnya. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti
pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen.
Rencana
Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan,
seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan,
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan
RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan.
Pengamat
ekonomi Revrisond Bawsir menuturkan bahwa privatisasi pendidikan
merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh
negara-negara donor lewat Bank Dunia. Privatisasi pendidikan sama halnya dengan
menyerahkan pendidikan ke pasar. Tentu saja akan memancing peningkatan biaya
sesuai kehendak pemilik modal. Selain itu, pendikotomian kelas sosial
masyarakat akan kembali terulang. Dalam keadaan ini, pemerintah yang
berkewajiban menjamin hak pendidikan setiap warganya, terkesan “cuci tangan”.
Revitalisasi Al-Qardh untuk Pendidikan
Neoliberalisme yang mendatangkan kapitalis pasar, birokrasi dan
pendi-
dikan di negeri ini adalah kenyataan yang mesti
dilawan. Pergerakannya telah sampai pada imperealisme akut yang secara tidak
langsung menjajah kembali bumi Indonesia. Selain melalui ilmu pengetahuan dan
teknologi, pengadaan kebijakan baru menyoal pelaksanaan pendidikan juga patut
dicurigai sebagai bagian dari upaya perealisasian misi mereka.
Indonesia sebagai bangsa yang lahir dengan
latar belakang kebersamaan dan gotong royong sebenarnya telah memiliki dasar
berpijak dan bergerak. Hanya saja, kesadaran dan keyakinan untuk bangkit
sebagai negara yang berdaulat masih sangat minim. Negeri ini membutuhkan
perjuangan dan pengorbanan segenap rakyat. Revitalisasi Al-Qardh adalah salah
satu langkah komperehensif yang dapat diterapkan. Menurut Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional (2001), Al-Qardh adalah pinjaman (penyaluran dana) kepada nasabah
dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada
Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pada waktu yang telah disepakati antara nasabah
dan LKS.
Praktik Al-Qardh yang diaplikasikan pada
perbankan syariah di Indonesia, yang secara khusus dikenal dengan qardhul
hasan, bukan transaksi komersial, tetapi nasabah yang meminjam ke bank syariah
akan membayar sama dengan hutangnya dan memberikan bonus kepada bank yang tidak
diperjanjikan ketika akad. Dengan demikian, Al-Qardh dapat membantu pelajar,
khususnya mahasiswa yang kekurangan biaya dalam hal pendidikan. Pembayaran pengembalian
dapat dilaksanakan 6 (enam) bulan setelah kelulusan atau wisuda, sehingga
mahasiswa telah bekerja dan mempunyai penghasilan. Selain itu, bonus bonus yang
diberikan kepada bank dapat digunakan sebagai penyokong bahkan menyelenggarakan
pendidikan rakyat yang murah dan dapat dijangkau semua kalangan khususnya
menengah ke bawah.
Bagaimana pun masalah yang dialami dalam bidang pendidikan kita, pasti ada
solusi untuk menyelesaikannya. Namun pelaksanaan solusi tersebut harus selalu
didasari pada hati nurani dan rasa pengabdian yang seutuhnya sehingga hasil
yang didapatkan memanglah hasil yang optimal.
0 komentar:
Posting Komentar