By: Wahyuningsari
Salah satu tujuan produksi dalam
islam adalah menciptakan rasa kemandirian kolektif yang kemudian menciptakan
ketahanan ekonomi, mendukung berkembangnya kemajuan sektor-sektor yang lain.
Artinya dalam proses produksi sendiri adanya suatu stimulus kemandirian
bersama, antara produsen yang mampu menyediakan kebutuhan pasar dan pelaku
produksi (buruh) yang mendapatkan upah atas keringatnya sebagai tenaga
produksi. Berbicara tentang perspektif kelayakan upah akan selalu ada
perdebatan dari dua pihak yang berseteru yakni pengusaha dan kaum buruh. Pada
khirnya pemerintah sebagai pihak penengah selalu dituntut mampu mengatasi
konflik ini.
Di Indonesia sendiri setiap tahunnya
selalu ada aksi yang dipelopori oleh serikat buruh seluruh Indonesia, berdalih
memperjuangkan kesejahteraan buruh. Aksi ini minimal terjadi setiap bulan Maret, di mana
peringatan hari buruh dunia dirayakan. nampaknya hal ini tidak relevan
pada kacamata penguasaha. Pengusaha berargumen
kenaikan upah buruh tidak kompatibel terhadap pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan pendapatan serta mendorong tingkat pengangguran. Bagi buruh,yang
diwakili oleh serikat pekerja, kenaikan biaya hidup terasa memberatkan jika
tidak dibarengi dengan kenaikan upah yang mereka terima. Akhirnya inilah yang
menjadi dilema pemerintah sebagai pemangku kebijakan.
Sebuah penelitian
menunjukan hasil survey oleh Pratomo di tahun 2010 menemukan kenaikan upah
minimum berpengaruh terhadap peningkatan angka pengangguran. Dampak kenaikan
upah minimum terhadap peningkatan angka pengangguran yang terjadi di Indonesia
sebenarnya bisa jadi lebih buruk jika tingkat compliance pengusaha terhadap ketentuan upah
minimum tinggi. Pratomo (2010) menemukan bahwa masih terdapat sekitar 18 persen
buruh di daerah perkotaan digaji di bawah UMR. Sementara di daerah nonkota, sekitar 29 persen buruh digaji di bawah UMR.
Hal ini menunjukkan ketidaksiapan sektor usaha untuk memenuhi tuntutan standar
UMR. Jika kesiapan itu ada konsekuensi lain adalah pengangguran yang meningkat.
sulitnya angkatan kerja baru untuk menembus pasar tenaga kerja karena ketatnya
persaingan menjadi musababnya. Kelompok ini biasanya mencari pekerjaan pada
sektor informal atau menjadi TKI sebagai alternatif mata pencaharian. Lalu
bagaimana sebenarnya yang ideal ?
Pada essay ini
akan dibahas bagaimana normatifnya sebuah sistem pengupahan dalam perspektif
dengan studi kasus “MayDay” yang menjadi puncak aksi para buruh menuntut
kenaikan upah minimum regional.
Bagaimana nilai
islam dalam proses produksi terkait sistem pengupahan ?
Pengupahan atau penggajian dalam
islam adalah sisitem yang lazim, dalam sejarah sebelum diangkat menjadi Rasul
nabi Muhammad pernah menjadi seorang penggembala kambing yang menunjukkan ia
ernah menjadi bagian pekerjaan orang lain dan mendapatkan upah dari
pekerjaannya saat itu. Hal ini diceritakan dalam sebuah riwayat hadist :
Dari Abu Hurairah, Rasul bersabda:
Allah tidak mengutus Rasul kecuali sebelumnya ia sebagai pengembala, sahabat
bertanya Anda ya Rasul. Rasul menjawab: Aku mengembala kambing penduduk Mekah
dengan upah beberapa qirath.
Dari hadist di atas dapat dilihat
bahwa bekerja untuk orang lain bukan pekerjaan yang tidak layak karena dengan pekerjaan
tersebut Rasul mendapatkan rizki Allah dengan
halal. Hakikat mencari rizki adalah jalan yang baik atau halal dan memberikan
maslahah atau kebermanfaatan untuk sesama. Di negara kita sebagian besar
rakyatnya merupakan tenaga kerja baik pada instansi pemerintah, yayasan, dan
pabrik. Hal itu disebabkan karena tidak semua orang dapat menciptakan lapangan
kerja untuk dirinya sendiri.
Upah atau gaji harus dibayarkan
sebagaimana yang diisyaratkan Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran:
57, bahwa setiap pekerjaan orang yang bekerja harus dihargai dan diberi
upah/gaji. Tidak memenuhi upah bagi para pekerja adalah suatu kezaliman yang
tidak disukai Allah.
Tidak ada alasan untuk tidak membayar
upah apabila pekerjaan yang ditugaskan kepada pekerja telah selesai
dikerjakannya. Bahkan dalam salah satu hadis qudsi orang yang tidak mau
membayar upah dinyatakan sebagai musuh Allah sebagaimana dalah hadis berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى
ثَلاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ
وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا
فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
Abu Hurairah berkata bahwa Rasul
bersabda firman Allah: ada tiga yang menjadi musuh Saya di hari kiamat, 1.
Orang yang berjanji pada-Ku kemudian ia melanggarnya 2. Orang yang menjual
orang merdeka lalu ia memakan hasil penjualannya 3. Orang yang mempekerjakan
orang lain yang diminta menyelesaikan tugasnya, lalu ia tidak membayar upahnya
Point yang paling disoroti dari
hadiat diatas adalah sebuah kedzaliman jika tidak membayarkan upah pekerja, karena jerih
payah dan kerja kerasnya tidak mendapatkan balasan, dan itu sama dengan memakan
harta orang lain secara tidak benar.
Hadis ini menjadi dalil bahwa upah
merupakan hak bagi pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan
kepadanya. Sebagai pengimbang dari kewajibannya melakukan sesuatu, maka ia
mendapatkan upah sesuai dengan yang telah disepakati bersama.
Pekerja atau orang yang mempekerjakan,
sebelumnya harus membicarakan penentuan upah/gaji yang akan diterima oleh
pekerja. Karena hal itu akan berpengaruh pada waktu pembayaran upah atau gaji.
Besar upah/ gaji di negara kita baik di instansi pemerintah atau pabrik telah
ditentukan besarnya upah/gaji yang akan diterima pekerja sekali gus waktu
penerimaan upah/gaji, ada yang harian, mingguan, 2 mingguan dan ada yang
bulanan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa salami islam landasan memberi upah
adalah :
- Ketepatan waktu. Upah seorang buruh harus dibayarkan kepadanya sebelum keringat dibadanya kering.
- Penghasilan terbaik ialah penghasilan seorang pekerja dengan syarat ia melakukan pekerjaanya dengan hati-hati dan ia hormat pada majikanya.
Maka yang seharusnya diperbaiki
adalah sistem penetapan itu sendiri,
dalam islam penetapan upah disebut hukum
ijaratul ajir (kontrak kerja). dalam hukum ini di aturlah akad penentuan upah
dengan ketentuan yang relevan diantaranya harus dipertemukannya pihak pekerja
(ajir), serta pihak penerima jasa atau pemberi pekerjaan, yakni pihak yang
memberikan upah yang disebut dengan pengusaha/majikan (musta’jir). Dalam
pertemuan ini pun ada syarat dan ketentuan dimana (1) orang-orang yang
mengadakan transaksi (ajiir & musta’jir) haruslah sudah mumayyiz, yakni
sudah mampu membedakan baik dan buruk. Maka dari itu, tidak sah melakukan
transaksi ijarah jika salah satu atau kedua pihak belum mumayyiz, seperti anak
kecil yang belum mampu membedakan baik dan buruk, orang yang lemah mental,
orang gila, dan sebagainya; (2) transaksi (akad) harus didasarkan pada
keridhaan kedua pihak, tidak boleh ada unsur paksaan.
Transaksi
(akad) ijarah haruslah memenuhi ketentuan dan aturan yang jelas yang dapat
mencegah terjadinya perselisihan di antara kedua pihak yang bertransaksi.
Ijarah adalah memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak. Apabila transaksi
tersebut berhubungan dengan seorang ajiir, maka yang dimanfaatkan adalah
tenaganya. Karena itu, untuk mengontrak seorang ajiir tadi harus ditentukan
bentuk kerjanya, waktu, upah, serta tenaganya. Untuk itu, jenis pekerjaannya
harus dijelaskan sehingga tidak kabur. Transaksi ijarah yang masih kabur,
hukumnya adalah fasid (rusak). Selain itu, waktunya juga harus ditentukan,
semisal harian, bulanan, atau tahunan. Di samping itu, upah kerjanya juga harus
ditetapkan. Karena itu, dalam transaksi ijarah, hal-hal yang harus jelas
ketentuannya adalah menyangkut: (a) bentuk dan jenis pekerjaan, (b) masa kerja;
(c) upah kerja; serta (d) tenaga yang dicurahkan saat bekerja
Dengan
jelasnya dan terperincinya ketentuan-ketentuan dalam transaksi ijaratul ajir
tersebut, maka diharapkan setiap pihak dapat memahami hak dan kewajiban mereka
masing-masing. Pihak pekerja di satu sisi wajib menjalankan pekerjaan yang
menjadi tugasnya sesuai dengan transaksi yang ada; di sisi lain ia berhak
mendapatkan imbalan sesuai dengan kesepakatan yang ada. Demikian pula pihak
pengusaha berkewajiban membayar upah pekerja dan menghormati transaksi kerja
yang telah dibuat dan tidak bisa bertindak semena-mena terhadap pekerja.
Misalnya, secara sepihak melakukan PHK; memaksa pekerja bekerja di luar jam
kerjanya. Namun, pengusaha juga berhak mendapatkan jasa yang sesuai dengan
transaksi dari pekerja; berhak menolak tuntutan-tuntuan pekerja di luar
transaksi yang disepakati, seperti tuntutan kenaikan gaji, tuntutan tunjangan,
dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar