Senin, 14 November 2016

Filled Under:

Nilai Islam dalam Produksi

15.00.00

By: Wahyuningsari

Salah satu tujuan produksi dalam islam adalah menciptakan rasa kemandirian kolektif yang kemudian menciptakan ketahanan ekonomi, mendukung berkembangnya kemajuan sektor-sektor yang lain. Artinya dalam proses produksi sendiri adanya suatu stimulus kemandirian bersama, antara produsen yang mampu menyediakan kebutuhan pasar dan pelaku produksi (buruh) yang mendapatkan upah atas keringatnya sebagai tenaga produksi. Berbicara tentang perspektif kelayakan upah akan selalu ada perdebatan dari dua pihak yang berseteru yakni pengusaha dan kaum buruh. Pada khirnya pemerintah sebagai pihak penengah selalu dituntut mampu mengatasi konflik ini.

Di Indonesia sendiri setiap tahunnya selalu ada aksi yang dipelopori oleh serikat buruh seluruh Indonesia, berdalih memperjuangkan kesejahteraan buruh.  Aksi ini minimal terjadi setiap bulan Maret, di mana peringatan hari buruh dunia dirayakan. nampaknya hal ini tidak relevan pada kacamata penguasaha. Pengusaha berargumen kenaikan upah buruh tidak kompatibel terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan serta mendorong tingkat pengangguran. Bagi buruh,yang diwakili oleh serikat pekerja, kenaikan biaya hidup terasa memberatkan jika tidak dibarengi dengan kenaikan upah yang mereka terima. Akhirnya inilah yang menjadi dilema pemerintah sebagai pemangku kebijakan.

Sebuah penelitian menunjukan hasil survey oleh Pratomo di tahun 2010 menemukan kenaikan upah minimum berpengaruh terhadap peningkatan angka pengangguran. Dampak kenaikan upah minimum terhadap peningkatan angka pengangguran yang terjadi di Indonesia sebenarnya bisa jadi lebih buruk jika tingkat compliance pengusaha terhadap ketentuan upah minimum tinggi. Pratomo (2010) menemukan bahwa masih terdapat sekitar 18 persen buruh di daerah perkotaan digaji di bawah UMR. Sementara di daerah nonkota, sekitar 29 persen buruh digaji di bawah UMR. Hal ini menunjukkan ketidaksiapan sektor usaha untuk memenuhi tuntutan standar UMR. Jika kesiapan itu ada konsekuensi lain adalah pengangguran yang meningkat. sulitnya angkatan kerja baru untuk menembus pasar tenaga kerja karena ketatnya persaingan menjadi musababnya. Kelompok ini biasanya mencari pekerjaan pada sektor informal atau menjadi TKI sebagai alternatif mata pencaharian. Lalu bagaimana sebenarnya yang ideal ?

Pada essay ini akan dibahas bagaimana normatifnya sebuah sistem pengupahan dalam perspektif dengan studi kasus “MayDay” yang menjadi puncak aksi para buruh menuntut kenaikan upah minimum regional.

Bagaimana nilai islam dalam proses produksi terkait sistem pengupahan ?

Pengupahan atau penggajian dalam islam adalah sisitem yang lazim, dalam sejarah sebelum diangkat menjadi Rasul nabi Muhammad pernah menjadi seorang penggembala kambing yang menunjukkan ia ernah menjadi bagian pekerjaan orang lain dan mendapatkan upah dari pekerjaannya saat itu. Hal ini diceritakan dalam sebuah riwayat hadist :

Dari Abu Hurairah, Rasul bersabda: Allah tidak mengutus Rasul kecuali sebelumnya ia sebagai pengembala, sahabat bertanya Anda ya Rasul. Rasul menjawab: Aku mengembala kambing penduduk Mekah dengan upah beberapa qirath.

Dari hadist di atas dapat dilihat bahwa bekerja untuk orang lain bukan pekerjaan yang tidak layak karena dengan pekerjaan tersebut  Rasul mendapatkan rizki Allah dengan halal. Hakikat mencari rizki adalah jalan yang baik atau halal dan memberikan maslahah atau kebermanfaatan untuk sesama. Di negara kita sebagian besar rakyatnya merupakan tenaga kerja baik pada instansi pemerintah, yayasan, dan pabrik. Hal itu disebabkan karena tidak semua orang dapat menciptakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri.

Upah atau gaji harus dibayarkan sebagaimana yang diisyaratkan Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran: 57, bahwa setiap pekerjaan orang yang bekerja harus dihargai dan diberi upah/gaji. Tidak memenuhi upah bagi para pekerja adalah suatu kezaliman yang tidak disukai Allah.

Tidak ada alasan untuk tidak membayar upah apabila pekerjaan yang ditugaskan kepada pekerja telah selesai dikerjakannya. Bahkan dalam salah satu hadis qudsi orang yang tidak mau membayar upah dinyatakan sebagai musuh Allah sebagaimana dalah hadis berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ثَلاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

Abu Hurairah berkata bahwa Rasul bersabda firman Allah: ada tiga yang menjadi musuh Saya di hari kiamat, 1. Orang yang berjanji pada-Ku kemudian ia melanggarnya 2. Orang yang menjual orang merdeka lalu ia memakan hasil penjualannya 3. Orang yang mempekerjakan orang lain yang diminta menyelesaikan tugasnya, lalu ia tidak membayar upahnya

Point yang paling disoroti dari hadiat diatas adalah sebuah kedzaliman jika  tidak membayarkan upah pekerja, karena jerih payah dan kerja kerasnya tidak mendapatkan balasan, dan itu sama dengan memakan harta orang lain secara tidak benar.

Hadis ini menjadi dalil bahwa upah merupakan hak bagi pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya. Sebagai pengimbang dari kewajibannya melakukan sesuatu, maka ia mendapatkan upah sesuai dengan yang telah disepakati bersama.

Pekerja atau orang yang mempekerjakan, sebelumnya harus membicarakan penentuan upah/gaji yang akan diterima oleh pekerja. Karena hal itu akan berpengaruh pada waktu pembayaran upah atau gaji. Besar upah/ gaji di negara kita baik di instansi pemerintah atau pabrik telah ditentukan besarnya upah/gaji yang akan diterima pekerja sekali gus waktu penerimaan upah/gaji, ada yang harian, mingguan, 2 mingguan dan ada yang bulanan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa salami islam landasan memberi upah adalah :
  1. Ketepatan waktu. Upah seorang buruh harus dibayarkan kepadanya sebelum keringat dibadanya kering.
  2. Penghasilan terbaik ialah penghasilan seorang pekerja dengan syarat ia melakukan pekerjaanya dengan hati-hati dan ia hormat pada majikanya.


Maka yang seharusnya diperbaiki adalah sistem penetapan  itu sendiri, dalam islam penetapan upah disebut hukum ijaratul ajir (kontrak kerja). dalam hukum ini di aturlah akad penentuan upah dengan ketentuan yang relevan diantaranya harus dipertemukannya pihak pekerja (ajir), serta pihak penerima jasa atau pemberi pekerjaan, yakni pihak yang memberikan upah yang disebut dengan pengusaha/majikan (musta’jir). Dalam pertemuan ini pun ada syarat dan ketentuan dimana (1) orang-orang yang mengadakan transaksi (ajiir & musta’jir) haruslah sudah mumayyiz, yakni sudah mampu membedakan baik dan buruk. Maka dari itu, tidak sah melakukan transaksi ijarah jika salah satu atau kedua pihak belum mumayyiz, seperti anak kecil yang belum mampu membedakan baik dan buruk, orang yang lemah mental, orang gila, dan sebagainya; (2) transaksi (akad) harus didasarkan pada keridhaan kedua pihak, tidak boleh ada unsur paksaan.

Transaksi (akad) ijarah haruslah memenuhi ketentuan dan aturan yang jelas yang dapat mencegah terjadinya perselisihan di antara kedua pihak yang bertransaksi. Ijarah adalah memanfaatkan jasa sesuatu yang dikontrak. Apabila transaksi tersebut berhubungan dengan seorang ajiir, maka yang dimanfaatkan adalah tenaganya. Karena itu, untuk mengontrak seorang ajiir tadi harus ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah, serta tenaganya. Untuk itu, jenis pekerjaannya harus dijelaskan sehingga tidak kabur. Transaksi ijarah yang masih kabur, hukumnya adalah fasid (rusak). Selain itu, waktunya juga harus ditentukan, semisal harian, bulanan, atau tahunan. Di samping itu, upah kerjanya juga harus ditetapkan. Karena itu, dalam transaksi ijarah, hal-hal yang harus jelas ketentuannya adalah menyangkut: (a) bentuk dan jenis pekerjaan, (b) masa kerja; (c) upah kerja; serta (d) tenaga yang dicurahkan saat bekerja
Dengan jelasnya dan terperincinya ketentuan-ketentuan dalam transaksi ijaratul ajir tersebut, maka diharapkan setiap pihak dapat memahami hak dan kewajiban mereka masing-masing. Pihak pekerja di satu sisi wajib menjalankan pekerjaan yang menjadi tugasnya sesuai dengan transaksi yang ada; di sisi lain ia berhak mendapatkan imbalan sesuai dengan kesepakatan yang ada. Demikian pula pihak pengusaha berkewajiban membayar upah pekerja dan menghormati transaksi kerja yang telah dibuat dan tidak bisa bertindak semena-mena terhadap pekerja. Misalnya, secara sepihak melakukan PHK; memaksa pekerja bekerja di luar jam kerjanya. Namun, pengusaha juga berhak mendapatkan jasa yang sesuai dengan transaksi dari pekerja; berhak menolak tuntutan-tuntuan pekerja di luar transaksi yang disepakati, seperti tuntutan kenaikan gaji, tuntutan tunjangan, dan sebagainya.

0 komentar:

Posting Komentar