By: Nur Fitroh Febrianto
Konsumsi
Inter-Temporal adalah konsumsi yang dilakukan dalam dua waktu, yaitu masa
sekarang (periode pertama) dan masa yang akan datang (periode kedua). Dalam
perspektif konvensional, konsumsi inter-temporal dilambangkan terhadap
pendapatan, yaitu: Y= C + S, Y sebagai pendapatan, C sebagai konsumsi, dan S
sebagai tabungan. Sehingga dapat dianalisis bahwa pendapatan yang kita peroleh
adalah konsumsi dan sisa dari konsumsi atau tabungan. Tabungan tersebut
merupakan konsumsi yang digunakan dalam periode kedua.
Bagaimana
menurut Islam?, tentunya dalam Islam pendapatan yang diperoleh seharusnya dapat
memberikan manfaat bagi orang lain. Allah SWT berfirman: “Berinfaqlah kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan
Allah; mereka tidak dapat berusaha di bumi; orang yang tidak tahu menyangka
mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka
dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Al-Baqoroh: 273)
Dalam
ayat tersebut Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk menyisihkan harta
atau pendapatan yang ia peroleh untuk orang-orang fakir yang berusaha
membumikan ajaran-ajaran Allah SWT. Sehingga dari sinilah dalam Islam, konsumsi
inter-temporalnya adalah Y = C + Infaq + S. Pendapatan seseorang adalah jumlah
dari konsumsi yang ia pakai ditambah infaq dan tabungan untuk konsumsi di masa
mendatang. Akan tetapi, dalam buku “Ekonomi Mikro Islami” karya Ir. Adiwarman
A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P. dijelaskan bahwa adanya FS atau Final Spending yaitu jumlah antara
konsumsi dan infaq (C + Infaq). Hal ini dilakukan supaya memudahkan dalam
penyajian grafis dengan dua dimensi. Sehingga persamaan tersebut menjadi: Y =
FS + S. Sehingga kurva yang terbentuk adalah seperti berikut:
Kurva
tersebut terbentuk dengan keadaan di mana:
- Orang tidak mau bekerja mencari pendapatan;
- Praktik riba menjadi tradisi di masyarakat;
- Zakat wajib dilaksanakan.
Hal
tersebut menunjukkan bahwa indifference
curve akan semakin baik jika mendekati Final
Spending. Pendapatan seseorang akan semakin baik jika konsumsi tersebut
diselipkan dana untuk infaq. Padahal, FS tidak secara rinci menjelaskan
perbedaan biaya konsumsi dan dana infaq. Jikalau kita berpikir positif,
sesedikit apapun kita berinfaq, maka dapat dikatakan perilaku tersebut baik
yang terpenting adalah ikhlas. Jikalau seseorang memiliki pendapatan (Y = Rp.
100.000), kebutuhan konsumsinya (C = Rp. 75.000), Tabungannya (S = Rp. 24.000),
dan Infaq = Rp. 1000, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendapatan tersebut
dikatakan baik?. Okelah untuk tingkat awam mungkin hal tersebut merupakan
langkah awal untuk memperoleh kebaikan, akan tetapi jikalau seseorang memiliki
pendapatan (Y = Rp. 100.000), kebutuhan konsumsinya (C = Rp. 75.000),
Tabungannya (S = Rp. 25.000), dan Infaq= Rp. 0. Lalu, apakah hal tersebut masih
dapat dikatakan bahwa indifference curve
tetap menjadi hal yang baik?. Tentu saja tidak. Hal ini karena adanya
penggabungan antara konsumsi dengan infaq. Padahal, secara hakekat infaq dan
konsumsi tidaklah sama. Orientasi yang dikeluarkan pun tidak sama. Seharusnya,
yang menjadi dalam variable adalah konsumsi dan infaq, tabungan merupakan
ketidakoptimalan seseorang melalakukan konsumsi dan infaq. Sehingga kurvanya
sebagai berikut:
Sehingga
dari sinilah sudah jelas jika indifference
curve semakin baik jika mendekat kepada variable Infaq yang disimbolkan
dengan y. Dapat dilihat bahwa tabungan merupakan ketidak optimalan infaq dan
konsumsi kepada Budget Constrain.
gambar 1: http://www.kesehatangigiku.com/wp-content/uploads/2013/05/Sayur-dan-Buah-Untuk-Kesehatan-Otak.jpg
Alhamdulillah, makasih kak penjelsannya bagus dan dimengerti
BalasHapusKalau bisa kak diposting lagi ttng analisis ktidakpahamannya dlam kurva tersebut
Maksudnya dlm kurva pembahasan yg lain
Hapus