Kamis, 06 Oktober 2016

Filled Under:

Konsumsi Inter-Temporal dalam Islam (Analisis Ketidaksepahaman)

10.01.00

By: Nur Fitroh Febrianto

Konsumsi Inter-Temporal adalah konsumsi yang dilakukan dalam dua waktu, yaitu masa sekarang (periode pertama) dan masa yang akan datang (periode kedua). Dalam perspektif konvensional, konsumsi inter-temporal dilambangkan terhadap pendapatan, yaitu: Y= C + S, Y sebagai pendapatan, C sebagai konsumsi, dan S sebagai tabungan. Sehingga dapat dianalisis bahwa pendapatan yang kita peroleh adalah konsumsi dan sisa dari konsumsi atau tabungan. Tabungan tersebut merupakan konsumsi yang digunakan dalam periode kedua.

Bagaimana menurut Islam?, tentunya dalam Islam pendapatan yang diperoleh seharusnya dapat memberikan manfaat bagi orang lain. Allah SWT berfirman: “Berinfaqlah kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat berusaha di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (Al-Baqoroh: 273)

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk menyisihkan harta atau pendapatan yang ia peroleh untuk orang-orang fakir yang berusaha membumikan ajaran-ajaran Allah SWT. Sehingga dari sinilah dalam Islam, konsumsi inter-temporalnya adalah Y = C + Infaq + S. Pendapatan seseorang adalah jumlah dari konsumsi yang ia pakai ditambah infaq dan tabungan untuk konsumsi di masa mendatang. Akan tetapi, dalam buku “Ekonomi Mikro Islami” karya Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P. dijelaskan bahwa adanya FS atau Final Spending yaitu jumlah antara konsumsi dan infaq (C + Infaq). Hal ini dilakukan supaya memudahkan dalam penyajian grafis dengan dua dimensi. Sehingga persamaan tersebut menjadi: Y = FS + S. Sehingga kurva yang terbentuk adalah seperti berikut:


Kurva tersebut terbentuk dengan keadaan di mana:
  1. Orang tidak mau bekerja mencari pendapatan;
  2. Praktik riba menjadi tradisi di masyarakat;
  3. Zakat wajib dilaksanakan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa indifference curve akan semakin baik jika mendekati Final Spending. Pendapatan seseorang akan semakin baik jika konsumsi tersebut diselipkan dana untuk infaq. Padahal, FS tidak secara rinci menjelaskan perbedaan biaya konsumsi dan dana infaq. Jikalau kita berpikir positif, sesedikit apapun kita berinfaq, maka dapat dikatakan perilaku tersebut baik yang terpenting adalah ikhlas. Jikalau seseorang memiliki pendapatan (Y = Rp. 100.000), kebutuhan konsumsinya (C = Rp. 75.000), Tabungannya (S = Rp. 24.000), dan Infaq = Rp. 1000, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pendapatan tersebut dikatakan baik?. Okelah untuk tingkat awam mungkin hal tersebut merupakan langkah awal untuk memperoleh kebaikan, akan tetapi jikalau seseorang memiliki pendapatan (Y = Rp. 100.000), kebutuhan konsumsinya (C = Rp. 75.000), Tabungannya (S = Rp. 25.000), dan Infaq= Rp. 0. Lalu, apakah hal tersebut masih dapat dikatakan bahwa indifference curve tetap menjadi hal yang baik?. Tentu saja tidak. Hal ini karena adanya penggabungan antara konsumsi dengan infaq. Padahal, secara hakekat infaq dan konsumsi tidaklah sama. Orientasi yang dikeluarkan pun tidak sama. Seharusnya, yang menjadi dalam variable adalah konsumsi dan infaq, tabungan merupakan ketidakoptimalan seseorang melalakukan konsumsi dan infaq. Sehingga kurvanya sebagai berikut:


Sehingga dari sinilah sudah jelas jika indifference curve semakin baik jika mendekat kepada variable Infaq yang disimbolkan dengan y. Dapat dilihat bahwa tabungan merupakan ketidak optimalan infaq dan konsumsi kepada Budget Constrain.


gambar 1: http://www.kesehatangigiku.com/wp-content/uploads/2013/05/Sayur-dan-Buah-Untuk-Kesehatan-Otak.jpg 

2 komentar:

  1. Alhamdulillah, makasih kak penjelsannya bagus dan dimengerti
    Kalau bisa kak diposting lagi ttng analisis ktidakpahamannya dlam kurva tersebut

    BalasHapus