Minggu, 20 November 2016

Filled Under:

Implementasi Etika Konsumsi dalam Islam

15.43.00

By: Fadhilah Rahmawati


Dalam masyarakat, konsumsi menjadi kegiatan yang tak bisa dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan adanya konsumsi akan menimbulkan rasa kepuasan tersendiri bagi setiap orang. Semakin hari, tingkat konsumsi masyarakat semakin meningkat. Hal ini bisa terjadi karena adanya peningkatan pendapatan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang, maka akan semakin tinggi pula tingkat konsumsi seseorang. Hanya saja hal ini juga akan mengakibatkan utang negara semakin meningkat. Selain itu menurut teori Keynes, “Pengeluaran seseorang untuk konsumsi dan tabungan dipengaruhi oleh pendapatannya. Semakin besar pendapatan seseorang maka akan semakin banyak tingkat konsumsinya pula, dan tingkat tabungannya pun akan semakin bertambah. dan sebaliknya apabila tingkat pendapatan seseorang semakin kecil, maka seluruh pendapatannya digunakan untuk konsumsi sehingga tingkat tabungannya nol”. Dari hal tersebut, maka muncullah sikap hedonisme dari masyarakat. Dengan pendapatan yang bertambah, mereka akan semakin mendapatkan godaan untuk membelanjakan uangnya, sehingga pada akhirnya tidak sedikit masyarakat yang menghambur – hamburkan uang.

Konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu  ìConsumptionî  adalah pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. 

Menurut Dumairy (2004), konsumsi adalah barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.Dalam KBBI, konsumsi adalah pemakaian barang hasil produksi seperti bahan pakaian, makanan, dan sebagainya.Sedangkan menurut  M. Abdul Mannan, konsumsi berarti permintaan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa konsumsi adalah kegiatan manusia untuk menghabiskan  atau memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keinginan seseorang. Dalam konsep Islam, perilaku konsumsi tidak hanya berpedoman pada kepentingan pribadi saja. Namun juga harus memperhatikan nilai – nilai etika dan norma – norma yang baik serta membawa kemaslahatan umat.   

Dalam teori ekonomi konvensional, tujuan konsumen adalah untuk mencari dan memperoleh kepuasan tertinggi tanpa memikirkan apakah setelah mengkonsumsi akan mendapatkan manfaat dan keberkahan atau hanya mendapatkan kepuasan saja. Sedangkan dalam teori ekonomi Islam, tujuan konsumen adalah untuk memperoleh kepuasan disertai manfaat dan berkah. Jadi, selain mencari kepuasan, dalam konsep Islam juga harus memperhatikan tingkat kehalalan suatu barang dan jasa yang akan dikonsumsi dengan mencari tahu bagaimana cara memproduksi dan mendapatkan barang atau jasa tersebut. Menurut M.A. Mannan, ada lima prinsip dasar yang mengendalikan konsumsi dalam Islam, yaitu, prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati, dan prinsip moralitas. Sedangkan etika konsumsi dalam Islam meliputi :

Sederhana tetapi efektif dan efisien


Islam mengajarkan kepada umatnya untuk membelanjakan harta dan melakukan konsumsi secukupnya tanpa berlebih – lebihan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Al – A’raff : 31, yang artinya “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yanng indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih – lebihan......”.

Selain itu Islam juga mewajibkan umatnya membelanjakan hartanya untuk dirinya dan orang lain. seperti dalam firman Allah SWT yang terdapat dalam Q.S. Al – Isro’ : 26 - 27, yang artinya “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”.


Memperhatikan yang halal dan thayyib.

Di sini jelas bahwa Islam melarang umatnya mengkonsumsi barang atau jasa yang haram. Sehingga sebagai umat Islam, sebelum mengkonsumsi barang atau jasa harus memperhatikan kehalalannya dan manfaat dari barang atau jasa tersebut apakah akan mendatangkan kebaikan pada diri sendiri maupun orang lain. hal yang perlu diperhatikan untuk menilai kehalalan dan kebaikan(thayyib) dapat dinilai dari bagaimana cara mendapatkan barang tersebut, proses pembuatannya, apakah barang mengandung najis, bahaya, mengandung gharar (ketidakjelasan), mengandung maisir(judi), dan sebagainya.

Tidak kikir, tidak mubazir, dan boros.

Menurut Yusuf Qardhawai, mubazir adalah membelanjakan  harta yang haram, sedangkan boros menurut beliau adalah melampaui batas dalam belanja pada barang yang halal. Seperti yang telah dijelaskan pada halaman sebelumnya bahwa Islam melarang umatnya untuk untuk berperilaku boros atau berlebih – lebihan. Dan ketika seseorang kikir, mubazir, dan boros, maka hal ini akan dapat merugikan orang lain.

Bersyukur kepada Allah dan memperhatikan hak orang lain

Segala sesuatu yang dimiliki merupakan sebuah nikmat yang sangat berharga dari Allh SWT. Untuk itu, sebagai umat muslim wajib hukumnya untuk selalu bersyukur kepada Allah tanpa mengeluh. Sebenarnya dengan bersyukur akan menambah iman seseorang. Selain itu di dalam Islam juga diwajibkan untuk memperhatikan orang lain. Karena di dalam nikmat yang didapatkan terdapat hak orang lain yang sedang dititipkan oleh Allah. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Al – Kautsar : 3 dan Q.S. Adz – Dzariyat : 19,  yang artinya “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”.
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.


0 komentar:

Posting Komentar