By: Fadhilah Rahmawati
Dalam masyarakat, konsumsi menjadi kegiatan yang tak bisa
dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan adanya konsumsi akan
menimbulkan rasa kepuasan tersendiri bagi setiap orang. Semakin hari, tingkat
konsumsi masyarakat semakin meningkat. Hal ini bisa terjadi karena adanya
peningkatan pendapatan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendapatan seseorang,
maka akan semakin tinggi pula tingkat konsumsi seseorang. Hanya saja hal ini
juga akan mengakibatkan utang negara semakin meningkat. Selain itu menurut teori
Keynes, “Pengeluaran seseorang
untuk konsumsi dan tabungan dipengaruhi oleh pendapatannya. Semakin besar
pendapatan seseorang maka akan semakin banyak tingkat konsumsinya pula, dan
tingkat tabungannya pun akan semakin bertambah. dan sebaliknya apabila tingkat
pendapatan seseorang semakin kecil, maka seluruh pendapatannya digunakan untuk
konsumsi sehingga tingkat tabungannya nol”. Dari hal
tersebut, maka muncullah sikap hedonisme dari masyarakat. Dengan pendapatan
yang bertambah, mereka akan semakin mendapatkan godaan untuk membelanjakan
uangnya, sehingga pada akhirnya tidak sedikit masyarakat yang menghambur –
hamburkan uang.
Konsumsi
berasal dari bahasa Inggris yaitu ìConsumptionî adalah pembelanjaan atas barang-barang dan
jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut.
Menurut Dumairy
(2004), konsumsi adalah barang-barang yang diproduksi untuk digunakan oleh
masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya.Dalam KBBI, konsumsi
adalah pemakaian barang hasil produksi seperti bahan pakaian, makanan, dan
sebagainya.Sedangkan
menurut M. Abdul Mannan, konsumsi
berarti permintaan.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa konsumsi adalah kegiatan manusia untuk menghabiskan atau memanfaatkan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan keinginan seseorang. Dalam konsep Islam, perilaku
konsumsi tidak hanya berpedoman pada kepentingan pribadi saja. Namun juga harus
memperhatikan nilai – nilai etika dan norma – norma yang baik serta membawa
kemaslahatan umat.
Dalam teori
ekonomi konvensional, tujuan konsumen adalah untuk mencari dan memperoleh
kepuasan tertinggi tanpa memikirkan apakah setelah mengkonsumsi akan mendapatkan
manfaat dan keberkahan atau hanya mendapatkan kepuasan saja. Sedangkan dalam
teori ekonomi Islam, tujuan konsumen adalah untuk memperoleh kepuasan disertai
manfaat dan berkah. Jadi, selain mencari kepuasan, dalam konsep Islam juga
harus memperhatikan tingkat kehalalan suatu barang dan jasa yang akan
dikonsumsi dengan mencari tahu bagaimana cara memproduksi dan mendapatkan
barang atau jasa tersebut. Menurut M.A. Mannan, ada lima prinsip dasar yang
mengendalikan konsumsi dalam Islam, yaitu, prinsip keadilan, prinsip kebersihan,
prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati, dan prinsip moralitas. Sedangkan etika konsumsi dalam Islam meliputi
:
Sederhana tetapi efektif dan efisien
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk
membelanjakan harta dan melakukan konsumsi secukupnya tanpa berlebih – lebihan.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Al – A’raff : 31, yang
artinya “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yanng indah di setiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih – lebihan......”.
Selain itu Islam juga mewajibkan umatnya
membelanjakan hartanya untuk dirinya dan orang lain. seperti dalam firman Allah
SWT yang terdapat dalam Q.S. Al – Isro’ : 26 - 27, yang artinya “Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”.
Memperhatikan yang halal dan thayyib.
Di sini jelas bahwa Islam melarang umatnya
mengkonsumsi barang atau jasa yang haram. Sehingga sebagai umat Islam, sebelum
mengkonsumsi barang atau jasa harus memperhatikan kehalalannya dan manfaat dari
barang atau jasa tersebut apakah akan mendatangkan kebaikan pada diri sendiri
maupun orang lain. hal yang perlu diperhatikan untuk menilai kehalalan dan
kebaikan(thayyib) dapat dinilai dari bagaimana cara mendapatkan barang
tersebut, proses pembuatannya, apakah barang mengandung najis, bahaya,
mengandung gharar (ketidakjelasan), mengandung maisir(judi), dan sebagainya.
Tidak kikir, tidak mubazir, dan boros.
Menurut Yusuf Qardhawai, mubazir adalah
membelanjakan harta yang haram,
sedangkan boros menurut beliau adalah melampaui batas dalam belanja pada barang
yang halal. Seperti yang telah dijelaskan pada halaman sebelumnya bahwa Islam
melarang umatnya untuk untuk berperilaku boros atau berlebih – lebihan. Dan
ketika seseorang kikir, mubazir, dan boros, maka hal ini akan dapat merugikan
orang lain.
Bersyukur kepada Allah dan memperhatikan hak
orang lain
Segala sesuatu yang dimiliki merupakan sebuah
nikmat yang sangat berharga dari Allh SWT. Untuk itu, sebagai umat muslim wajib
hukumnya untuk selalu bersyukur kepada Allah tanpa mengeluh. Sebenarnya dengan
bersyukur akan menambah iman seseorang. Selain itu di dalam Islam juga
diwajibkan untuk memperhatikan orang lain. Karena di dalam nikmat yang
didapatkan terdapat hak orang lain yang sedang dititipkan oleh Allah. Sesuai
dengan firman Allah SWT dalam Q.S. Al – Kautsar : 3 dan Q.S. Adz – Dzariyat :
19, yang artinya “Sesungguhnya Kami
telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena
Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah
yang terputus”.
“Dan
pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian.
0 komentar:
Posting Komentar